About Me

My photo
Saya adalah salah satu mahasiswa biasa yang kuliah di Universitas Swasta di Jakarta-Depok dengan hobi yang biasa . Uang jajan yang biasa . Tampang yang biasa . Sifat dan sikap seperti halnya laki-laki biasa . Porsi makan yang biasa dengan jam tidur yang biasa dilakukan oleh kebanyakan orang biasa ...
Powered by Blogger.
Friday, October 8, 2010

Homo Homini Socio - Homo Homini Lupus

Dhimas Widhiyanto 11110932 Sistim Informasi 1KA21



All About Homo Homini Socio – Homo Homini Lupus

Pembukaan

Peristiwa Sumanto beberapa tahun yang lalu begitu mengemparkan, membuat ketidakmengertian mengapa ada manusia yang memakan manusia lainnya walau sudah berbentuk mayat. Kanibalisme sungguh sangat tidak bisa ditolelir sama sekali. Bagaimana dengan masa kini ? Kalau kita mau cermati tentunya kita akan melihat bahwa pemangsaan atau kanibalisme ini telah mengalami perubahan kondisi. Kanibalisme telah berubah bentuk yang lebih halus, yaitu perilaku, cara berfikir,
manner, pemahaman, dll.




Homo Homini Lupus telah berkembang melewati batas individu, antar kelompok, bangsa, dan mungkin perlahan telah membentuk suatu kebudayaan sendiri. Homo Homini Lupus telah masuk dalamrelung aktivitas manusia, baik itu ekonomi, social, hukum, politik dengan segala bungkus atribut kekinian. Sebagian manusia telah kehilangan cara pandang hidupnya (way of life) sehingga mereka khilaf akan kedudukannya sebagai mahluk yang berke-Tuhanan YangMaha Esa.
Nilai-nilai kemanusian nan penuh keadilan dan beradab yang Tuhan anugerahkan mengalami pasang surut, bahkan terombang-ambing dalambatas kepudaran. Nah disinilah homo homini lupus akan mengalami reproduksi yang sangat luar biasa.



Bahasan I
Hobbes

Ketika sang individu menjadi homo homini lupus, sebenarnya dia tidak mengalami aktualisasi diri,kemanusiaannya yang tertanam dalam kediriannya tidak termanifestasikan, dia tidak bereksistensi sesuai esensi. Dan, ketika sang individu menjadi homo homini socius, dia telah dan sedang mengaktualisasi diri, telah dan sedang memanifestasikan kemanusiaannya, dan dia sedang bereksistensi sesuai esensi. Maka, sosialisme (atau dengan nama apapun kita menamai koeksistensi ini) adalah konsekuensi logis eksistensialisme (atau dengan nama apapun kita menamai eksistensi ini). Sedikit catatan, sosialisme tidak sama dengan komunisme. Komunisme, menurut Y. B. Mangunwijaya, pada hakikatnya sama dengan Kapitalisme, kanan, yaitu eksploitasi orang banyak oleh sekelompok kecil orang. Sedangkan sosialisme, menurut Sutan Sjahrir, adalah emansipasi rakyat, atau dapat diterjemahkan emansipasi masing-masing individu untuk memanifestasikan
kemanusiaannya.


Ungkapan “homo homini lupus” (manusia adalah serigala bagi manusia lain) dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, seorang filsuf dari Inggris, untuk menggambarkan situasi masyarakat yang diwarnai oleh persaingan dan peperangan. Siapa pun bisa menjadi musuh. Manusia yang satu bisa “memakan” dan mengorbankan manusia lain demi tujuan yang ingin dicapai. “Bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua). Kebenaran pendapat Hobbes itu masih dapat kita jumpai dalam situasi kita saat ini. Kita merasakan bahwa situasi persaingan itu semakin menguat. Apalagi di era globalisasi yang ditopang oleh sistem pasar bebas. “Kalau mau tetap eksis, harus berani bersaing dengan yang lain” itulah jargon yang seringkali dimunculkan. Di antara negara-negara, persaingan itu sangat kentara. Perusahaanperusahaan trans-nasional bertebaran di mana-mana. Yang punya modal kuat bisa bertahan dan
bahkan makin mendulang keuntungan. Sementara yang modalnya kecil kandas di tengah jalan. Situasi persaingan itu tidak hanya terjadi antar institusi. Persaingan antar individu pun terjadi.


Yang satu punya handphone terbaru, yang lain tak mau kalah. Kemajuan teknologi memicu orang untuk berlomba-lomba mengikutinya, karena takut dicela “ketinggalan jaman” atau disebut “katrok”.





Bahasan II
HOMO HOMINI LUPUS VS HOMO HOMINI SOCIUS

Kekerasan terjadi dimana-mana. Eksploitasi manusia terhadap manusia tak dapat dihindarkan. Manusia dalamkehidupan bersama semakin terancam. Hukum memperkosa keadilan. Kehidupan manusia berada di titik nol kondisi seperti itulah yang kini dialami manusia dalam kehidupan masyarakat –bahkan dibeberapa abad silam. Padahal manusia bermasyarakat untuk mencapai tujuan bersama demi kehidupan yang lebih baik. Bertolak dari persoalan tersebut patut diajukan pertanyaan Apakah manusia itu? Siapakah manusia itu? Bagaimanakah kodrat kehidupan manusia? Mengingat persoalan yang dihadapi menyangkut manusia sebagai subyek (pelaku) dalamkehidupan sosial. Itulah yang direnungkan Drijarka setengah abad silam. Ia merenungkan gejala-gejala sosial bertolak
pengalaman eksistensi manusia. Gejala-gejala sosial dilihat dari pengalaman eksistensial manusia sebagai subyek sosial. Gagasan-gagasan tentang manusia merupakan sentral pemikirannya.

Ia menolak gagasan bahwa kehidupan manusia dituntun oleh nafsu-nafsu.
Inti perenungannya tentang manusia merupakan lawan terhadap tesis homo homini lupus, yang bergagasan bahwa kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus untuk memuaskan hasrat. Kehidupan manusia adalah sebuah hasrat abadi untuk meraih kekuasaan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan. Dan, dengan rasionya manusia dapat belajar dari pengalaman cara-cara paling efektif untuk memperoleh kepuasan dan menghindari kekecewaan. Jadi, kehidupan menurut kodrat manusia adalah sebuah pertempuran.


kepentingan egoisitisnya. Manusia secaara kodrati tidak mencari masyarakat demi masyarakat itu
sendiri, melainkan mencari keuntungan tertentu darinya. Oleh karena itu hubungan-hubungan sosial merupakan produk dari kalkulasi dan persetujuan daripada dorongan. Hubungan-hubungan sosial lebih bersifat eksternal bagi individu daripada merupakan kesepahaman moral bersama.
Pandangan seperti itulah yang ditolak Drijarkara. Bagi Drijarkara, manusia bukan pertentangan antara jiwa dan badan. Manusia adalah pribadi dengan dimensi kejasmanian dan kerohanian, dimana roh mewujudkan refleksi budi dan kesadarannya dengan melalui badan, kejasmanaian merupakan ungkapan roh yang menjelma. Aksi (tindakan) manusia tidak bersifat eksternal, melainkan dari manusia itu sendiri (internal). Manusia sebagai pribadilah yang menentukannya. Dia berdaulat atas dirinya sendiri. Berdaulat tidak merupakan satu bagian tapi keseluruhan. Dalam perbuatannya manusia dapat menjadi baik atau sebaliknya. Dengan kedaulatannya manusia mampu menuju kesempurnaan juga sebaliknya.

Dengan demikian manusia adalah sebuah paradoks. Karena dalamdirinya mengandung dua prinsip: manusia berupa “apa” (jasmani) dan manusia berupa “siapa” (rohani). Karena dua prinsip itulah manusia mengandung oposisi-oposisi dalamdirinya, dia adalah kesatuan dari dua prinsip yang berlawanan.


Oleh karenanya kehidupan manusia adalah perjuangan terus menerus menuju kesempurnaan
(menuju kemutlakan Tuhan). Suatu perjuangan mengatasi paradoks dalam dirinya.

Dikatakan perjuangan terus menerus karena pada kodratnya manusia adalah dinamika, bergerak aktif dengan dan dalamdirinya. Manusia sebagai dinamika adalah manusia sebagai rohani-jasmani. Berdasarkan kerohaniannya terjadilah pelaksanaan, tapi pelaksanaan juga terjadi dalamkejasmanian. Ini adalah perintang. Oleh karena itu dinamikanya berupa pelaksanaan yang sekaligus berupa kegagalan, jadi selesai sebelum selesai, menjadi dan membelum. Dinamika manusia memiliki tiga unsur: pertama, Pengertian. Pengertian manusia adalah pengertian rohani-jasmani juga jasmani-rohani, yang memuat beberapa segi yakni, pengertian indera adalah momen dari dan dalamkeseluruhan pengertian kita; pengertian rasional merupakan pengertian konseptual membuat ide; pengertian metafisik disebut meta-konseptual, misalnya pengertian baik dan buruk. Ketiga segi ini saling memuat. Pengertian sensitif adalah satu momen dari seluruh pengertian insani. Tak ada pengertian sensitif tanpa pengertian rohani (intelek) juga sebaliknya.


Pengertian tersebut memuat fungsi, yakni menjiwai kehidupan manusia, memberi semacampola dalamperbuatan; mempesatukan manusia dengan dunianya, kemampuan melakukan obyektivikasi; mensatukan manusia dengan sesamanya, kemampuan keluar dari batas ruang dan waktu sehingga mampu melihat manusia dengan dirinya, mampu menangkap interioritasnya; menangkap
tansendensinya, berarti menyeberang, menyerahkan diri ke lain subyek. Penyerahan ini akhrnya bermuara kepada Tuhan.

Kedua, Rasa. Dibedkan antara rasa jasmani yang berlokalisasi dan rsa rohani yang tak berlokalisasi. Rasa merupakan penyatu dari aspek kognitif dan aspek pengambil di dalam menikmati (terpenuhinya suatu dorongan). Bentuk konkrit dari dinamika dalam unsur ini berupa dorongandorongan ke barang; dorongan seksual; dorongan ke arah keindahan; dorongan sensitif untuk cinta, disebut dorongan positif. Juga dorongan negatif yang menyebabkan manusia menolak sesuatu, yakni: takut, marah, segan.

Ketiga, Karsa. Adalah dinamika insani yangbentuknya menentukan. Karsa berkembang dari aspek jamani-rohani (biologis) ke aspek rohani-jasmani (logis). Pada taraf logis itulah karsa menjadi dinamika yang berdaulat, dalamarti mandiri, menguasai dan menentukan diri sendiri.

Dengan demikian pada kodratnya dinamika manusia menuju kesempurnaan. Namun, dalam perjalanannya ke arah itu mendapat hambatandari kejasmanian (nafsu-nafsu, keinginan), tapi manusia tidak diperbudak olehnya karena manusia memiliki karsa yang merupakan bentuk yang menentukan dalamperbuatannya.

Dalam pelaksanaan dinamikanya ke kesempurnaan, manusia memperstukan dirinya dengan sesama dan alam. Mensatukan dirinya dengan sesama adalah sisi sosialitas manusia, karenanya secara kodrati manusia adalah sahabat bagi manusia yang lain (homo homini socius). Dan, mensatukan dirinya dengan alam adalah sebagai proses dinamika aktif manusia mengatasi kodrat alam dan determinasi dunia material (sisi kebudayaan). Tapi dalampelaksanaan dinamikanya tersebut manusia tidak sepenuhnya tunduk pad akodratnya karena manusia memilik karsa. Sehingga, dalam pelaksanaan dinamikanya sering terjadi
pembelokan-pembelokan dari nilai-nilai kodratinya. Demikianlah kenapa dalam kehidupan sosial terjadi kekerasan, penindasan terhadap sesama manusia. Yang demikian sebenarnya bukanlah kodrat manusia, tapi terjadi karena pembelokan karsa manusia.


Dari pokok-pokok gagasan tentang manusia dari Drijarkara tersebut terasa aroma filsafat
eksisitensialisme, yang berkembang di Eropa sesudah Perang Dunia II. Pemikirannya menampakkan pengaruh dari aliran eksistensialisme. Sebagai aliran filsafat, eksistensialisme
merupakan reaksi terhadap pandangan materialisme yang meletakkan manusia pada tingkat impersonal dan idealisme yang meletakkan manusia pada tingkat yang abstrak.

Eksistensialisme memandang manusia secara terbuka. Artinya manusia adalah realitas yang belum selesai masih harus membenuk dan dibentuk. Pada hakikatnya manusia terikat pada dunia
sekitarnya, pada sesama manusia. Eksistensialisme memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksisitensial. Eksisitensi pada manusia adalah cara manusia berada di dunia, menyangkut pengalaman langsung yang bersifat pribadi. Bereksistensi berarti berdinamika, menciptakan dirinya secara aktif. Bereksisitensi berarti berbuat, menjadi,merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaan sebelumnya. Dalam istilah Drijarkara manusia selalau menjadi dan membelum.



Bahasan III

Definisi Manusia didalam Homo Homini Socio, Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin untuk manusia), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi di mana, dalamagama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain. Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.

Meskipun banyak spesies berprinsip sosial, membentuk kelompok berdasarkan ikatan / pertalian genetik, perlindungan-diri, atau membagi pengumpulan makanan dan penyalurannya, manusia dibedakan dengan rupa-rupa dan kemajemukan dari adat kebiasaan yang mereka bentuk entah untuk kelangsungan hidup individu atau kelompok dan untuk pengabadian dan perkembangan teknologi, pengetahuan, serta kepercayaan. Identitas kelompok, penerimaan dan dukungan dapat mendesak pengaruh kuat pada tingkah laku individu, tetapi manusia juga unik dalamkemampuannya untuk membentuk dan beradaptasi ke kelompok baru. Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menjelaskan interaksi antar manusia.



Sumber :
http://filsafat.kompasiana.com/2010/03/31/sosialisme-adalah-konsekuensi-logis-eksistensialisme
http://www.klik-galamedia.com/indexrubrik.php?idkolom=sketsa&wartakode=20100614101036
http://www.parokilaurentiusbdg.org/index.php?option=com_content&view=article&id=129:fr-sigitsetyantoro&
catid=37:admin-laurentius&Itemid=122
http://andhisetiawan.blogspot.com/2009/05/pengembangan-manusia-sebagai-makhluk.html
http://guruit07.blogspot.com/2009/01/pengembangan-manusia-sebagai-makhluk.html
http://sosial-budaya.blogspot.com/2009/05/manusia-sebagai-makhluk-sosial.html
http://apadefinisinya.blogspot.com/2009/01/manusia-sebagai-makhluk-individu-dan.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/1903717-makhluk-sosial/
http://dweysocial.blogspot.com/2008/01/manusia-sebagai-makhluk-sosial.
http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia http://mahadayadiri.wordpress.com/2008/10/28/homo-hominilupus-
masa-kini/

0 komentar: