Thursday, January 12, 2012

Rumahku dulu , Rumahku sekarang

Hujan selalu menjadi pelipur laraku. Karena hujan memakan seluruh kesunyian yang sangat tidak kusuka, seperti gerombolan tikus lapar dan mendapat jackpot berupa keju raksasa. Belum lagi karena bau hujan. Sebenarnya aku pun tak yakin hujan punya bau. Cuma, hidungku yang agak melesak kedalam ini selalu mencium bau khas setiap kali hujan.

Begitupun hari ini, hujan turun dengan deras. aku sedang duduk di teras belakang rumah. Memerhatikan jutaan tetesan yang terjun bebas dari langit. Aku menghadap tepat ke arah kolam. Sudah tidak berair dan sama sekali tidak terawat. Padahal dulu ayah sangat rajin mengganti air kolam dan memberi makan kepada ikan-ikan di dalam kolam. bahkan dulunya kebun disekitar kolam begitu terawat. Banyak sekali bunga warna-warni dan tanaman yang aku tidak tau itu apa. Yang kuingat hanyalah saat malam tiba, aku tidak bisa tidur karena jendelaku tepat menghadap kolam. aku bisa mendengar suara kodok bernyanyi ala kadarnya. Serak, parau dan bagiku sangat menyeramkan. Aku memang takut kodok. Tapi sekarang, kolam dan kebun bagus hanya tinggal kenangan, bukan Cuma kolam dan kebun, tapi rumah kami juga semakin jelek dan lapuk. Aku sangat merindukan keadaan 2 tahun lalu, saat ayah tidak bermasalah dengan rekan kerja nya, saat rumah ini bagus, sebagus kue tart di rak nya.

Pelan-pelan aku masuk ke dalam rumah. Aku hendak ke kamarku, hanya untuk sekedar membayangkan bila keadaan kembali seperti semula. Dalam perjalanan ke kamar, aku melihat ayah, dia tidak lagi sekuat dulu. Wajahnya yang dulu gagah dan tampan, kini mulai dirusak oleh keriput dan pucat yang pasi. Ayah sedang bersama ibu seperti biasa, ibu memijit kepala ayah dengan balsem, tanpa bicara sepatah kata pun. Hanya saling memandang dalam kebisuan semu. Pernah kucoba satu kali aku bertanya, mengapa mereka seperti itu. Mereka hanya mengangkat telunjuk dan menempelkannya ke bibir sambil mengeluarkan sedikit suara mendesis. Sejak itu aku malas sekali menanyai mereka kalau sudah seperti ini. Padahal dulu, ibu dan ayah begitu ramah. Tidak pernah sekalipun mengacuhkanku. Lagi-lagi dulu.

Sampai di kamar aku duduk dan menghadap jendela. Terlihat kolam yang gelap. Tidak ada nyanyian kodok, kalau boleh jujur, bahkan aku merindukan nyanyian buruk itu. Hujan masih dengan kejam mengguyur bumi. Sambil memijat kepala, aku coba merangkai peristiwa demi peristiwa yang terjadi, mengapa aku bisa sampai seperti ini sekarang.

2 tahun yang lalu, umurku masih 7 tahun. Aku adalah anak luar biasa enerjik dan selalu ingin tau. Saat itu aku dan ayah, juga ibu, baru saja pindah rumah ke rumah yang kutempati sekarang. Aku tidak begitu mengerti alasan pindah. Tapi yang kudengar hanyalah kata “Rumah Dinas”. Apapun namanya, selama aku masih tinggal dengan ayah dan ibu, aku sangat senang.

Ayah sering kali menggendongku hanya untuk sekedar menciumku dan melepaskanku di kebun belakang rumah. Ayah juga sering sekali diam-diam membuka buku pelajaranku dan melihat nilai-nilainya. Jika nilaiku bagus, ayah akan memujiku. Dan itulah sebabnya aku selalu belajar agar mendapatkan nilai yang bagus dan dipuji oleh ayah, ayah, dan ayah. Aku sangat menyayanginya.

Sementara ibu, dia sering sekali menyendiri. Memang sih, ibuku itu orangnya misterius, sukar bercanda. Dia tidak akan bicara sampai ada orang yang mengajaknya. Satu-satunya orang yang dapat membuat ibu berbicara begitu banyak hanya ayahku. Bila ada ayah, senyum ibu merekah penuh cahaya. Bibir tipisnya sering mengucapkan kata manis yang aku tak yakin maksutnya apa. Dia sering sekali mencubit ayah manja ketika sedang mengobrol berdua.

Ibu jarang sekali bicara padaku, tapi aku yakin dia sangat menyayangiku, begitupun aku. Semuanya terbukti dari bagaimana ibu selalu mengelus kepalaku sebelum berangkat sekolah, bagaimana aku pura-pura tertidur untuk mendapatkan ciuman selamat tidur darinya. Aku sangat suka cara dia melihatku. Dan itulah mengapa aku sangat menyayanginya. Ia melihatku seperti anak ingusan yang melihat permen lollipop raksasa, begitu kagum hingga berbinar-binar. Tentu saja aku tak mengerti apa maksut tatapannya itu. Kupikir semua ibu akan melihat anaknya dengan mata seperti itu.

Kami keluarga kecil yang sangat bahagia di rumah itu, sampai pada suatu malam. Waktu itu kami sedang makan malam seperti biasa. Tapi agak telat, karena ayah pulang terlambat. Kami sepakat bahwa makan malam adalah saat yang tidak boleh kekurangan satupun anggota keluarga, itulah momen pemersatu kami. Aku makan bubur kesukaanku, semetara ayah dan ibu tidak menyentuh makanannya sama sekali. Sedari tadi mereka menggunakan suara berdesibel rendah, berusaha agar aku tak mendengarkannya. Dan itu terbukti berhasil, aku hanya berhasil menangkap dan sedikit mencerna kata-katanya. Intinya ibu bilang “jangan” dan ayah bilang “terpaksa”. Sadar aku mulai ikut mendengarkan, akhirnya mereka mulai makan dalam diam. Lama sekali hening yang terjadi waktu itu, hanya ada bunyi kecapan mulut dan suara dentingan sendok ke piring porselen. Sampai tiba-tiba jam dinding raksasa berdentang memecah kebisuan diantara kami. Sudah pukul Sembilan tepat, sudah satu jam aku terlambat tidur. Dan dengan gendongan hangat seperti biasa, ayah membawaku ke kamar. Sekarang baru kusadari, inilah awal dari perubahan segalanya.

Sejak saat itu, kami hampir tidak pernah makan malam bersama lagi. Ayah sudah tidak pernah mengecek nilai-nilaiku lagi. Air wajahnya yang biasanya ramah kini berubah. Aku tidak mau ayah berubah! Akhirnya pada suatu malam, sepulang ayah bekerja, aku bertanya “ayah kenapa ga pernah periksa nilai ku lagi?”. “kok kamu tau?” jawab ayah balik bertanya. “aku sering lihat kok yah, terus knp sekarang udah ga pernah yah?” tanyaku merengek. “ayah Cuma agak cape, di kantor banyak banget kerjaan van…” katanya lesu dengan mata yang mulai cekung itu. Aku akhirnya teringat sesuatu yang sudah lama ingin kutanyakan pada ayah. “emang ayah kerja apa sih? Ada yang bisa vanny bantu yah?”. “makasih ya udah nawatin bantuan. Tapi kamu ga bakal ngerti, ini soal politik van” kata ayah sambil bergegas pergi menuju kamarnya.

Tak jarang juga aku mendengar keributan di kamar ayah dan ibu. Mereka sering sekali bertengkar sekarang, aku merasa bodoh karena jadi satu-satunya yang tidak mengerti apa masalahnya. Dan puncak pertengakaran itu terjadi saat aku bergegas ke kamar tidur. Aku mendengar suara piring pecah dan langsung berlari ke kamar makan. Aku mengintip dari pintu.

Ayah dan ibu sedang berdiri mematung , hanya dipisahkan meja makan. Piring yang pecah ada di samping ayah. Lalu aku melihat pemandangan mengerikan. Ayah menggebrak meja dengan tanganya yang kuat dan menjatuhkan piring lagi. Kurasa piring tadi pecah karena ayah juga.

“bisakah kau sedikit tenang? Nanti vanny dengar?!” kata ibu pelan namun tegas.

“sudah berapa kali kubilang?! Aku terpaksa melakukan ini!!” ayah membalas sengit.

Kulihat air mata sudah bercucuran di pipi ibu yang lembut

“tapi kita tak bisa begitu yah, kau tidak boleh begitu…” nadanya lembut dan memelas sekali

“tidak bisa! aku harus melakukannya!” ayah membalas, tapi nadanya sudah melembut

“aku tak rela kau melakukan hal itu” bantah ibu

Sialnya, saat itu aku terbatuk dan mereka berdua menyadari keberadaanku

“kamu ngapain van?” ibu berkata lembut seraya mengelap air matanya

“mau minum mah” aku berbohong. Padahal ibu mengajariku supaya tidak berbohong, tapi aku langgar, mungkin aku akan dihukum berat jika dia tau.

Lalu dengan cekatan ibu mengambilkan segelas air dan menuntunku ke kamar. Saat di ambang pintu ayah bilang “aku harus melakukannya, aku tak bisa tinggal disini lagi, maafkan aku” dan ayah berjalan tegas keluar rumah.

Sejak malam itu, sudah seminggu lebih ayah tidak pulang. Wajah ibu lebih dingin dari biasanya. Berkali-kali dia mengangkat telpon, menekan tombol speed dial nomor 2 (speed dial handphone ayah) lalu terdengar tuut…tuut…tuut begitu keras karena selalu saja hening. Di kamar, aku pun sering mendengar ibu menangis sejadi-jadinya.

Suatu malam, aku mendengar pintu digedor dengan amat sangat keras. Saat itu aku dan ibu sedang berada di dapur. Muka ibu berubah pucat. Pucat sepucat pulan malam itu. Sambil menggendongku dan berlari liar ke arah pintu belakang. Aku melihat air matanya berlinang saat menggendongku.

Begitu membuka pintu belakang, ada 2 orang berpakaian jas hitam rapi, dengan kacamata hitam. Ada satu orang lagi yang bertampang sangat barbar dibelakang 2 pria berjas itu. Ibuku terjatuh karena terkejut, begitupun aku.

“mana suamiku?!” ibu bertanya frustasi ke orang berjas rapi itu. “oh, sulaiman? Politikus yang sok bersih itu? Tenang, dia sudah mati. Mayatnya ada dibawah fondasi mall yang baru saja dibangun. Kalau saja dia tidak melaporkan segalanya ke para petinggi, mungkin dia tak perlu mati dengan cara seperti itu” katanya tenang dengan nada dingin. “kau dan putrimu pun akan menyusul hari ini” sambil tersenyum, aneh, senyum orang itu begitu lucu sekaligus berbahaya.

Lalu dengan cekatan ibu mengambil pisau dapur di atas meja sambil menggendongku lagi kearah pintu depan. Aku masih tidak mengerti apa yang terjadi. Ibuku hanya berbisik “tenanglah vanny, ibu akan melindungimu”

Namun begitu sampai di pintu depan. Ada seorang pria lagi yang dengan sigap, menyambetkan sesuatu yang berkilat ke leher ibu. Seketika juga ibu jatuh dan menggelepar, senyum manisnya terlempar bersama dengan kepalanya. Leher ibu menyemburkan cairan merah, banyak sekali, seperi kembang api di malam tahun baru. Aku hanya bisa berdiri mematung di samping ibu yang kehilangan kepalanya. Sampai orang berjas hitam itu muncul, dan mengarahkan pistol. Tepat di keningku.

********

Dan sekarang, di kamar aku duduk merenung. Melihat tubuhku yang setengah transparan ini. Beberapa hari yang lalu ada sebuah keluarga yang ingin membeli rumah ini. Namun penduduk disekitarnya bilang bahwa rumahku berhantu, katanya dulu rumah itu milik sebuah keluarga kecil yang dibunuh seluruhnya oleh koruptor licik. setiap hari tercium bau balsem.

Aku hanya bisa menatap hujan, dan menanti masa lalu yang tidak akan pernah datang.





sumber : disini

0 komentar: