Thursday, January 12, 2012

Sayap dan Air Mata Perak .

Aku meluncur turun dengan riang seperti bisaa. Menembus awan dengan tubuh dan sayap kebangganku dengan gemulai. Saat itu, mentari masih sayu menunjukan sinar kehidupannya. Hanya ada aku, gerombolan awan putih, dan tugas hari ini.

Aku menghitung dengan seksama, “ternyata hari ini Cuma ada 5!” pekikku riang dan segerombolan awan itu malah diam. Sangat berbeda dengan tugasku di Desember 7 tahun lalu, di ujung Banda tepatnya. Dimana dalam sehari targetku mencapai lebih dari 126.000 jiwa. Tentulah aku sangat bersyukur, dan dengan gelisah, menuju target pertamaku.

Aku melesat turun seperti kerikil kecil yang ditarik kekuatan dahsyat gravitasi di tepi jurang, sangat cepat, menuju sebuah bangunan besar yang terdiri dari beberapa bangunan-bangunan kecil dan kamar yang sangat banyak. Dengan insting supertajam ku, aku bisa menemukan ruangan target ku dan tinggal menyesuaikan waktu nya.

Dalam ruangan bernuansa hijau ini, ada 5 orang, pertama seorang lelaki paruh baya yang sedang berbaring di ranjang dan kelihatan sangat lemah, seorang dokter yang sedari tadi sibuk menyinari bola mata lelaku malang tersebut, serta 3 orang lainnya kurasa adalah keluarga si lelaku malang tersbut.

Aku menunggu dengan gelisah sampai waktunya tepat, lalu aku mendekati lelaku malang itu, dan segera mencabut keluar Roh nya. Memisahkan jiwa dan raga nya. Entah mengapa, saat memisahkan roh orang, ada sensasi yang bercampur aduk antara puas, sedih, gamang dan kasihan. Tapi ini jelas tugasku. Pelan pelan kumasukkan roh tersebut ke dalam kantung roh yang kubawa dari langit, aku berniat pulang setlah semua 5 targetku hari ini masuk ke kantung rohku. Sang dokter yang berkacamata itu terlihat sekali mimic wajah simpati yang dibuat buat dan dengan menyungggingkan “kami telah berusaha semampunya” dengan amat pelan. Isak tangis perlahan terdengar samar, lalu kemudia meledak, dan ketiga orang itu terus memanggil dan memeluki tubuh yang sudah terpisah dari rohnya. Aku hanya menutup wajah dengan sayap ku yang keperakan. Karena lagi lagi aku memisahkan mereka yang saling menyayangi.

Lalu dengan kasar, aku membuka daftar tugas hari ini. Dan kali ini, 3 orang sekaligus dalam waktu yang sama. Aku langsung terbang keluar meninggalkan suara parau yang sudah tak jelas antara isak atau teriakan itu lagi. Aku terbang keluar secepatnya, takut aku akan terbawa suasana. Dan akhirnya aku langsung menemukan target ku hari ini.

Mereka (targetku yang malang) adalah sebuah keluarga kecil harmonis. Mereka baru saja menginjakkan kaki keluar dari gerbang rumah sakit saat aku melihat mereka. Sang ibu baru saja melahirkan putri nya yang sangat manis itu. Ukurannya kecil, tapi terlihat sedang tidur dengan damai. Sang ayah terlihat begitu senang dengan kedatangan Permata baru dalam perhiasan rumah tangga mereka. “mengapa mereka?” aku membatin. Sedikit mengiba dan mengasihani diriku sendiri. Sambil terus mengintai, aku menginguti langkah kaki mereka yang sekan harum Bunga kebahagiaan.

Saat ini, posisi mereka ada tepat disampingku. Mereka tak merasakan keadaanku. Sang ibu duduk dengan manis di sebuah bangku panjang dari kayu jati di pinggir jalan. Sambil menyusui si Permata (aku memanggilnya begitu) karena dia terbangun dan menangis. Dan tak lama kemudian, sang ayah datang dengan motor besarnya, keliatan sangat gagah dan sanggup membawa istri dan anaknya kemanapun di dunia ini.

Dengan membaca doa’ si istri naik ke belakang sambil menggendong si Permata. Motor melaju dengan cepat, tapi aku tak kalah cepat. “sudah hamper waktunya” kataku. Dan kemudian semua terasa begitu cepat. Ada sebuah bus besar yang dating dari arah berlawanan. Gerakannya sangat cepat dan tidak teratur, sepertu seekor kuda raksasa yang diberikan theobromine. Lalu, sesaat sebelum kuda raksasa itu meindas seluruh motor itu, aku mengambil 3 roh yang malang itu. Banyak sekali darah dan aku sama sekali tidak inging melihatnya. Dengan tergesa aku memasukkan 3 roh itu lagi ke kantung.

Aku berusaha melupakan semua target ku hari rasanya. Rasanya semuanya menorah luka yang dalam di hatiku. Aku hanya tersenyum semu samvbil menghibur diri sendiri. Mencoba melupakan semua hal, lebih baik aku mengikuti korban terakhirku hari ini. Dia dijadwalkan meninggal saat matahri terbenam, namun sekarang? Matahari baru saja keluar dengan girang dari persembunyainnya. “mungkin ada gunanya aku mengikuti korban terakhirku” tekadku menyalak.

Dia hanya seorang pria tua, kira2 umurnya sudah 50 tahun. Di pagi hari ini. Dia dan becak tuanya siap bertandang di setiap pasar. Menawarkan servis menggiurkan ke para penumpang yang akan menaiki becaknya. Kukira bapak itu salah tempat. Maksudku lihatlah! Ini tempat yang sangat penuh dengan dosa. Aku bisa merasakan udara seakan dipaksa melucuti semua pakaiannya dan dipermaikan oleh kebejatan moral. Perjudian dan sampah menggunung. Dan banyak sekali orang seprofesi bapak ini yang tidak mau antri menunggu giliran mendapat pelanggan, selalu saja bapak ini diselak. Namun hebatnya? Bapak ini hanya balas tersenyum dan sekilas aku melihat bibir rapuhnya berkomat kamit, seperti sedang berdoa. Sangat lama dan bosan menunggu, akhirnya datanglah kesempatan itu, para tukang becak biadab lain sudah pulang, karena waktu sudah hamper menyeret matahari masuk ke lubang persembunyiannya. Ibu itu terlihat sangat baik begitu menaiki becak bapak itu, merasa sangat tertolong karena belanjaannya membludak. Dengan sabar si bapak mengayuh becak dan akhirnya sampai di tempat tujuan. Si ibu hanya membri selembar uang yang kuyakin nominalnya sangat kurang karena tercermin begitu dari senyum asing bapak itu. Sambil mengucapkan terimakasih, bapak itu mengayuh becaknya kembali.

Sampai di sebuah warung, bapak itu langsung membeli sebungkus makanan. Aku yakin sekali melihat sedikit air keluar dari mulutnya. Saat bapak itu hamper melampiaskan hasrat nya kepada sebungkus nasi tak bersalah itu, muncul bocah pengemis yang menangis dan bilang kalau dia sangat kelaparan. TERKEJUT! Aku sangat terkejut bapak itu mau membungkus kembali nasinya dengan rapi, dan memberikan seluruh bungkusan berminyak itu ke bocah tadi. Si bocah lalu berteriak gembira dan berlari.

Sekarang sudah hamper waktunya, tapi gawat ! aku masih belum melihat tanda kematian bapak itu? Apa nanti yang membunuhnya? Sungguh aku tak sampai hati memikirkannya. Saat itu, suara bapak itu memecah keheninganku. “kamu kah malaikat maut itu? Aku bisa merasakan kamu dating sedari pagi dan terus mengikutiku” katanya sayu sambil duduk santai menengadah langit yang mulai menua. Aku hanya diam, karena jelas, aku tidak boleh berbicara dengannya. Sekarang sudah saatnya, tapi aku tidak melihat apapun terjadi pada nya. Lalu perlahan, aku sadar… bapak ini meninggal kelaparan. Aku kembali mengulang kata “mati kelaparan” dalam kepalaku dan semuanya terasa begitu hampa. Kalau kau bisa melihatku, kurasa kau aakn mendapat sebuah pemandangan luar bisaa. Seorang malaikat dengan sayap perak, tersedu-sedu menangis sambil mencabut roh orang yang sangat dermawan ini. Setelah kucabut rohnya. Kusempatkan berbicara dengannya “mengapa kau begitu dermawan? Aku tau kau belum makan sama sekali sampai pagi, tapi kenapa kau tetap memberikannya, itu satu-satunya rezeki mu hari ini… kenapa?” roh itu terasa hangat menggelepar dalam tanganku, lalu dengan susah payah menjawab “ pertama, aku belum makan 4 hari belakangan ini, dan kedua… mengapa aku dermawan? Karena kepada-Nya tempat aku kembali nanti, dial ah mahluk maha dermawan. Aku hanya mengikutinya saja.” Aku segera memasukan nya ke kantung roh. Dan terbang setinggi mungkin, aku mengiris langit, aku ingin langit merasakan perasaanku yang teriris karena dermawannya sosok manusia. Menangis sendu bercampur perasaan syukur dan memohon ampun.





Sumber : disini

0 komentar: