Thursday, January 12, 2012

Sudahlah ...

Rasa gatal yang menyengat membuatku terlonjak dari tempat tidur. Rupanya malam ini pun aku kembali menjadi donor darah setia kepada mahluk bersayap mungil yang bisa berkembang biak gila-gilaan di musim penghujan seperti ini. Udara nya juga sangat sejuk untuk ukuran kota metropolis di rumahku. Bukan karena memasang pendingin ruangan, tapi murni karena hembusan nafas segar alam.

Kukira sekarang masih tengah malam, karena hari masih mengenakan jubah hitamnya. Tapi ternyata hanya mendung, mendung yang amat jahat dan menyerap semua letupan energiku di pagi hari indah ini. “another boring day” desahku sambil menuju ke kamar mandi.

Setelah mandi, Sholat, dan sarapan, aku hendak bergegas ke sekolah. Biarpun aku merasa ada sesuatu yang salah hari ini, aku sedikit merasa pusing. Dan kukira inilah efek buruk musim yang sangat kucinta, yah, memang, segalanya pasti punya nilai baik dan buruk. Sebelum melesat keluar bak harimau sirkus yang keluar kandang, ibu memanggilku. “Susunya minum! Beli susu mahal-mahal ga diminum!” bentaknya sambil mengangkat segelas penuh cairan putih yang amat lezat menurutku. Dengan gugup, panic, dan senang aku melangkah ke ibuku yang sedikit garang dan menghabiskan susunya hanya 2 kali tegak.

Ada yang berbeda di sekolah kali ini, akan ada kunjungan ke Panti asuhan, dan itu tidak bisa mengubah suasana hatiku yang sangat bosan. Ditambah lagi dengan pening di kepala yang mengakar, kukira aku akan lebih mengeluarkan aura non-sosialku setiap saat. Membayangkan yatim piatu saja aku berpikir “apa hebatnya? Sama aja kan? Manusia juga? Yah… aku sih bersyukur banget masih punya keluarga dan rumah, terus kenapa?”. Namun apa boleh buat, aku harus ikut karena tak ada satupun anggota OSIS yang tidak ikut.

“Panti Asuhan Az-Zahra” aku dapat mebaca tulisan itu ada di atas gerbang rumah yatim piatu, dibuat diatas seng yang diwarnai hijau agar serasi persis dengan gerbang berjeruji di bawahnya. Dengan enggan dan terpaksa aku masuk sambil berpikir positif “yah, daripada bosan sama sekali?”.

Ketua panti menyalami aku dan teman-teman dengan amat ramah. Kumisnya yang hitam itu berpadu dengan sedikit warna putih yang mencuat-cuat nakal. Dia memperkenalkan diri dan mempersilahkan kami duduk untuk mengatur ulang rencana dan apa saja yang kami lakukan disini.

“Kami akan membagi-bagikan buku tulis, pakaian, dan sedikit rezeki yang berhasil kami galang. Lalu insya Allah kami juga akan mengadakan acara makan-makan kecil di aula untuk memperingati hari ibu” kata Zhafira lembut, ketua OSIS ku yang multi talenta dan memiliki perasaan sesensitif ujung jemari. Aku hanya menepuk keningku lembut dan tersadar “oh iya, lupa, ini kan hari ibu”. Bahkan menepuk keningku lembut menambah pening di kepalaku.

Rentetan kegiatan membagikan sudah selesai, dan cukup efektif mengusir rasa bosanku, dan mungkin aku harus sering-sering berkunjung ke tempat seperti ini untuk meningkatkan rasa sosial. Dan sekarang tiba saatnya berkumpul di aula dan makan.

Aula ini tidak terlalu luas, namun sangat nyaman berada didalamnya. Dindingnya dicat kuing gading dan bagian bawah dindingnya seperti dilukis dengan pola rumput. Ada sekitar 40 sampai 50 anak yatim piatu disini. Aku merasakan banyak sekali kebahagiaan yang terpancara dari anak-anak itu. Memang bibir lucu mereka hanya berucap terima kasih, tapi aku merasakan perasaan energik yang meluap-luap. Dan dengan mudah (tidak seperti biasanya) aku dapat bersosialisasi dengan baik. Bahkan ada satu anak yang mendadak dekat denganku karena aku mengelus kepalanya.

Dodi nama anak itu, sekarang umurnya baru 8 tahun. Begitu polos, dan lucu. Namun juga sangat cerdas, terbukti dengan tanpa sengaja aku bertanya soal penemu benua amerika dan dia langsung menjawab Christopher Columbus. Saat ini dia sedang berbincang denganku.

“kak jun, inget gak surat Al Luqman? Ayat 14 kak” Tanya nya polos, aku bisa melihat dia ingin mengatakan sesuatu.

“Ga inget dod, emang kenapa?” tanyaku penasaran

“seinget saya, isinya tuh perintah dari Allah, agar kita berbuat baik kepada ibu bapak kita, tapi…” katanya antusias sampai kata kita

“kenapa?”

“Gimana saya bisa berbuat baik kak, saya aja ga punya bapak dan ibu” kata Dodi sambil tersenyum yang kurasa palsu.

Aku merasa tertampar, anak sekecil ini. Pasti sudah sering mengalami hal yang jauh lebih berat daripada yang kualami selama ini. Dan masih ada jutaan anak senasib Dodi yang ada di seluruh dunia, tiba-tiba aku merasa beruntung, ya… sangat-sangat beruntung.

“kakak sakit ya? Muka kakak pucet? Badan kakak juga agak panas” kata Dodi seraya memegang keningku

“eh, nggak. Nggak apa-apa kok Dod… gini aja, kan sekarang hari ibu tuh? Doakan aja ibu dan bapak Dodi, biarpun Dodi ga tau mereka lagi dimana, tapi Allah kan Maha Mendengar Dod” aku menjawab gugup sambil memegang keningku juga, memang agak panas.

“kalo itu mah setiap hari udah Dodi lakuin kak, bahkan setiap sholat. Kalo mau tidur juga kadang-kadang kangen banget, padahal Ibu bapak Dodi udah meninggal kak, Dodi disini karena paman dan bibi Dodi kerepotan katanya kalo ngurus Dodi juga.” Jawabnya polos

Lalu sekali lagi menamparku dengan kata-katanya “ini kan hari ibu tuh kak, Dodi pengen banget bilang Dodi sayang ibu dan ayah, sekali aja, tapi ga mungkin sih, hahahaha” katanya enteng sambil bergegas panic karena dipanggil Pak Norman.

********

Kunjugan hari ini serasa menyentakkan segala emosi dan pikiran yang kubilang masih normal. Kapan terakhir kali aku berbicara aku sayang pada ibu? Tanyaku sendiri. Setelah beberapa saat mengingat-ingat. Akhirnya aku setuju pada kenyataan paling pahit. Seumur hidupku, selama 17 tahun, belum pernah sekalipun aku bilang begitu. Padahal dengan sangat mudah, aku sering menulis puisi dan cerita gombal soal cinta. Bilang kepada sahabat-sahabat ku kalau aku menyangi mereka. Tapi mengapa sampai sekarang belum bisa aku mengucapkan tiga kata itu? Kepada ibuku sendiri? Aku berusaha menebak apa sebabnya. Namun semakin dipikir, aku semakin larut dalam lamunan. “Pasti masih banyak sekali orang diluar sana yang senasib denganku, belum pernah sama sekali mengucapkannya.” Padahal sekarang ini sungguh lumrah hal itu diucapkan, seperti lagu girlband yang belakangan ini booming : Really Really Love You, atau sinetron yang banya sekali menggunakan kelimat magis itu.

Aku sudah memutuskan, hari ini aku harus bilang pada ibuku, betapa aku sangat ,menyayanginya. Betapa aku bersyukurmemiliki ibu sekuat beliau, betapa aku senang memiliki ibu yang begitu kuat. Kalau kuingat masa kecilku, hanya akan ada gumpalan awan hitam yang ingin segera kuusir saja. Aku tidak ingin mengingatnya lagi. Namun ada cahaya begitu terang saat menelusuri gumpalan hitam jahat itu. Itu adalah saat dimana ibu mengajariku niat untuk puasa, itu adalah saat dimana aku pulang dan berteriak minta makan karena seharian menangis diluar, itu adalah saat dimana ibu mengambil nilai raporku, itu adalah saat dimana ibu menyelimutiku saat tubuhku menggigil kedinginan. Hanya ibu, ibu, ibu, Aku begitu menyayangimu ibu, tanpa tahu bagaimana caraku untuk menyampaikannya. Tapi, hei… aku sadar sesuatu yang mutlak, mengapa aku tidak pernah bilang begitu ke ibu. Itu juga karena Ibu belum pernah bilang begitu kepadaku, mungkin memang egois jika menunggu ibu yang mengucapkan itu lebih dulu daripada aku. Namun aku sadar, beginilah cara kerja Ibu. Beginilah mekanisme unik bernama cinta berjalan. Kalau begitu, aku harusnya mengikuti alur yang diikuti ibu.

Sampai disekolah, kepalaku begitu berat. Dan kurasa semua orang di kelas menyadarinya. Namun aku bersikeras ikut jam pelajaran walaupun bisa berkonsentrasi. Akhirnya jam pelajaran selesai, namun kukeluarkan senjata nadalanku ! Pena dan kertas ! sudah tak terhitung lagi jumlah huruf yang pernah kutorehkan pada tubuh kertas selama bertahun-tahun. Aku berniat menyiapakan satu puisi kecil, hanya untuk Ibu. Biar kepalakau serasa sangat berat, dan sudah 15 menit aku terlambat pulang. Aku tetap menulis dan berharap inilah sarana ku menuju dimensi sayang dari Ibu

Alhamdulillah, puisinya selesai, sederhana, tapi menurutku ibu sangat suka. Toh ibuku juga tak terlalu mengerti soal sastra. Aku berlari pulang. Rasanya ubun-ubun kepalaku dipukul sekantung semen, susah sekali melanjutkan perjalanan. Dan seakrang, aku ada di depan pintu rumah, siap untuk membacakan puisi ku untuk ibu, saat membuka pintu, titik di dalam kepalaku terasa begitu berat. Dan aku ambruk ke lantai.

Aku menyayangimu tanpa aku mengerti mengapa, sejak kapan atau bagaimana

Aku menyayangimu tanpa aku ingin terus bersama atau kehilangan dirimu

Aku menyayangimu tanpa aku ingin membebani atau dilepas olehmu

Aku menyayangimu tanpa aku ingin menghormati atau menindasmu

Aku menyayangimu tanpa aku ingin diam atau berbicara

Aku menyayangimu seperti ini, karena Cuma ini cara aku untuk menyayangimu, Ibu

Aku terbangun di kasurku. Kepalaku terasa sangat berat. Namun aku ingat jelas, aku membawa hadiah istimewa untuk ibu. Aku memegangi kertas itu sedari sekolah, namun sekarang kertas itu tidak ada. Tiba-tiba ada tangan menamparku “ngerepotin aja, pingsan di depan rumah! Kalo tadi emang ngerasa sakit! Yaudah ga usah sekolah! Gimana jadinya kalo pingsan dijalan?!” kata ibu dengan nada marah-cemas. Tanpa menggubrisnya aku bertanya “mana kertas yang Jun pegang bu?” dengan membelakangiku, ibu bilang “udah dibaca kok”. Aku kaget dan bingung, aku harus apa? Akhirnya aku beranikan diri untuk membawakan puisi itu langsung. Belum bait pertama selesai, Ibu menghambur memelukku, aku yakin melihat air mata di mata indahnya yang sudah 18 tahun menatapku. Sambil berbisik, dia bilang “sudahlah, lebih baik tak usah kau bilang!”



sumber : disini

0 komentar: